Info Umroh Terkini – Makkah adalah kota suci bagi umat Islam yang memiliki keutamaan istimewa. Selain menjadi tempat lahir Nabi Muhammad, di sana terdapat Ka’bah dan Masjidil Haram, yang menjadi pusat ibadah umat Islam. Kitab Fadhilah Haji karya Maulana Muhammad Zakariya Al Khandahlawi menyebutkan bahwa siapa pun yang memasuki Makkah dan beramal baik akan selamat dari api neraka, dan amal ibadah di sana mendapat pahala berlipat ganda. Misalnya, sholat di Masjidil Haram bernilai setara 100 ribu kali sholat. Namun, sebagaimana pahala kebaikan dilipatgandakan, beberapa ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Ahmad bin Hanbal juga berpendapat bahwa dosa akibat perbuatan buruk di Makkah turut dilipatgandakan.
Makkah tidak hanya menjadi pusat spiritual umat Islam tetapi juga memiliki nilai historis yang mendalam. Ka’bah di Masjidil Haram adalah kiblat umat Islam di seluruh dunia dalam melaksanakan sholat. Selain itu, setiap tahun jutaan umat Muslim datang ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, yang merupakan rukun Islam kelima, atau umrah. Penting bagi para peziarah untuk menjaga kesucian kota ini, baik dalam perilaku maupun niat, karena Makkah adalah wilayah yang diberkahi dengan nilai ibadah yang luar biasa. Hal ini mengingatkan umat Islam agar lebih berhati-hati dalam menjaga adab dan akhlak selama berada di tanah suci.
ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ السَّيِّئَاتِ تُضَاعَفُ بِمَكَّةَ كَمَا تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ، مِمَّنْ قَالَ ذَلِكَ مُجَاهِدٌ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَغَيْرُهُمْ لِتَعْظِيمِ الْبَلَدِ. وَ سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ مُقَامِهِ بِغَيْرِ مَكَّةَ فَقَالَ: مَالِي وَلِبَلَدٍ تُضَاعَفُ فِيهِ السَّيِّئَاتُ كَمَا تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ؟ فَحَمَلَ ذَلِكَ مِنْهُ عَلَى مُضَاعَفَةِ السَّيِّئَاتِ بِالْحَرَمِ،
“Sekelompok ulama berpendapat bahwa kejelekkan di Mekkah itu dilipatgandakan sebagaimana dilipatgandakannya kebaikan. Di antara berpendapat demikian adalah Mujahid, Ibnu Abbas, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mas’ud, dan yang lain karena untuk mengagungkan Mekkah. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang tempat tinggalnya selain Mekkah lantas ia pun menjawab: ‘Apa hubunganku dan negeri yang di dalamnya dilipatgandkan kejelekan sebagaimana dilipatgandakan kebaikan? Pernyataan Ibnu Abbas lantas ditafsirkan sebagai hal yang menunjukkan pelipatgandaan kejelekkan di Tanah Haram,” (Lihat Badruddin Az-Zarkasyi, I’lamus Sajid bi Ahkamil Masjid, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyyah, cetakan ke-1, 1416 H/1995 M, halaman 89).
Pertanyaannya, berapa pelipatgandaan kejelekkannya? Ada yang menyatakan dilipatgandakan seperti kebaikannya. Artinya, jika balasan kebaikan di Mekkah dilipatgandakan seratus ribu kali maka balasan kejelekannya juga demikian. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pelipatgandaan balasan kejelekannya seperti pelipatgandaan balasan kebaikan di selain Tanah Haram.
Pendapat ini mengandaikan, jika pelipatgandaan balasan kebaikan di selain Tanah Haram adalah sepuluh kali lipat, maka pelipatgandaan kejelekan yang dilakukan di Makkah adalah sepuluh kali lipat juga. Sedangkan pendapat ketiga cenderung tidak melipatgandakan balasan kejelekkan yang dilakukan di Mekkah karena melihat keumuman dalil-dalil yang tersedia. Seperti firman Allah ta’ala dalam surat Al-An’am ayat 160.
ثُمَّ قِيلَ تَضْعِيفُهَا كَمُضَاعَفَةِ الْحَسَنَاتِ بِالْحَرَمِ. وَقِيلَ بَلْ كَخَارِجِهِ، وَ مَنْ أَخَذَ بِالْعُمُومَاتِ لَمْ يَحْكُمْ بِالْمُضَاعَفَةِ قَالَ تَعَالَى: مَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا
“Kemudian dikatakan bahwa pelipatgandaan kejelekan di Mekkah itu sebagaiamana pelipatgandaan kebaikan di Tanah Haram. Pendapat lain menyatakan, pelipatgandaan kejelekannya sebagaimana pelipatgandaan kebaikan di luar Tanah Haram. Sedangkan orang yang mengambil dengan keumuman dalil-dalil yang ada maka ia tidak menghukumi adanya pelipatgandaan kejelekan di Tanah Haram. Allah ta’ala berfirman: ‘Barang siapa yang berbuatan kejelekkan maka dibalas seimbang dengan kejelekannya,’ (Q.S. Al-An’am [6]: 160)”.
Namun menurut Al-Fasi Al-Maliki (775-832 H)—seorang pakar hadits dan sejarawan yang berafiliasi pada madzhab Maliki, dan pernah menjabat sebagai qadli madzhab Maliki di Mekkah—bahwa pendapat yang sahih dari pelbagai madzhab adalah pendapat yang menyatakan bahwa kejelekan di Mekkah itu sama seperti di luar Mekkah.
وَقَال الْفَاسِيُّ : وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ أَنَّ السَّيِّئَةَ بِمَكَّةَ كَغَيْرِهَا
“Al-Fasi berkata, ‘Dan pendapat yang benar dari pelbagai madzhab ulama adalah bahwa kejelekan di Mekkah itu seperti di tempat lainnya’”.
Apa yang dikemukakan Al-Fasi jelas mengarah kepada ketidakadaannya kelipatan balasan perbuatan maksiat. Satu perbuatan maksiat mendapat balasan setimpal, dan tidak berlipat ganda.
Catatan penting yang perlu dipahami dalam konteks ini adalah bahwa maksud ulama yang berpendapat adanya pelipatgandaan balasan kejelekan adalah pelipatgandaan dari sisi kualitasnya (miqdar) bukan kuatitasnya (la kammiyyatiha fi al-adad).
Sebab, balasan kejelekan adalah kejelekan pula, tetapi kejelekan itu berbeda-beda. Kejelekan yang dilakukan di tanah yang disucikan Allah tentunya lebih besar konsekuensi dibanding jika dilakukan di tempat lain.
فَقَالَ الْقَائِلُ بِالْمُضَاعَفَةِ أَرَادَ مُضَاعَفَةُ مِقْدَارِهَا أَيْ غِلَظِهَا لَا كَمِّيَّتِهَا فِى الْعَدَدِ فَإِنَّ السَّيْئَةَ جَزَاؤُهَا سَيِّئَةٌ لَكِنَّ السَّيِّئَاتِ تَتَفَاوَتُ فَالسَّيِّئَةُ فِى حَرَمِ اللهِ وَبِلَادِهِ عَلَى بِسَاطِهِ أَكْبَرُ وَأَعْظَمُ مِنْهَا فِى طَرْفٍ مِنْ أَطْرَافِ الْبِلَادِ وَلِهَذَا لَيْسَ مَنْ عَصَى الْمَلِكَ عَلَى بِسَاطِ مُلْكِهِ كَمَنْ عَصَاهُ فِى مَوْضِعٍ بَعِيدٍ عَنْهُ
“Ulama yang berpendapat adanya pelipatgandaan kejelekan di Mekkah maksudnya adalah pelipatgandaan dari sisi kualitas atau ketebalannya bukan ukuran dari sisi kuantitasnya. Sebab, balasan kejelekan adalah kejelekan pula, akan tetapi kejelekan itu berbeda-beda tingkatannya. Maka kejelekan yang dilakukan di tanah suci itu lebih besar dibanding dilakukan di tempat lain. Karenanya, orang yang melakukan kesalahan kepada seorang raja di tempat yang dekat dengan kekuasaannya jelas berbeda dengan orang yang melakukannya di tempat yang jauh darinya,” (Lihat Badruddan Az-Zarkasi, I’lamus Sajid bi Ahkamil Masajid, halaman 90).
Sumber : himpuh.or.id